Ingin Terkenal dan Kaya? Menulislah!
Oleh: Dianing Widya Yudhistira
Mengapa Menulis?
Pernahkah Anda memiliki keinginan untuk dikenal orang
banyak, memiliki rumah sendiri, memiliki mobil bagus, juga jalan-jalan ke
berbagai kota bahkan negara? Semua itu hanya bisa diwujudkan dengan bekerja
keras. Salah satunya dengan menulis. Mengapa? Menulis juga salah satu kegiatan
yang menghasilkan uang, dan bisa dijadikan profesi. Artinya menulis bukan lagi
sekedar hobi.
Banyak penulis yang kemudian menjadi terkenal dan kemudian
kaya raya. Kalau di Indonesia, kita mengenal Habiburrahman El Sirazy, Andrea Hirata,
Ayu Utami, dan lain-lain. Di luar negeri, misalnya ada Dan Brown dan JK
Rowlling. Sebelum menulis, nama-nama itu bukan siapa-siapa. Mereka bukan orang
terkenal.
JK Rowling, misalnya, sebelumnya hidup sangat sederhana.
Untuk menghemat listrik di rumahnya, ia memilih menulis di kafe. Tapi, tahukah
Anda berapa kekayaan JK Rowling kini?
Sungguh fantastis: US $ 1 miliar! Ia menjadi salah satu orang terkaya di
Inggris, bahkan di dunia. Asyik kan? Anda mau? Pasti mau dong. Saya juga mau.
Kalau mau, mengapa tidak langsung memulai menulis?
Tapi, sukses tidak didapatkan secara simsalabim abrakadabra.
Semua perlu proses. Semua perlu ketekunan, semangat untuk belajar, semangat
untuk maju, tak kenal menyerah, dan
terus kerja keras. Sejumlah penulis terkenal dan penulis laris kini tidak
mendapatkan kesuksesan itu secara spontan.
Dan Brown telah menulis sejumlah buku, tapi baru buku
keempat yakni “The Davinci Code” yang laris. Setelah itu, buku-buku dia
sebelumnya juga ikut laris. Tapi ada pula yang buku pertama langsung laris,
seperti JK Rowling dengan buku Harry Potter. Namun, proses menulisnya sangat
panjang. Novelnya itu baru terbit lima tahun setelah ditulis. Sebelumnya, novel
ini 14 kali ditolak penerbit. Bayangkan!
Seandainya JK Rowling tidak punya semangat untuk maju dan
tahan banting, pasti ia tidak akan menjadi seperti sekarang dan besar
kemungkinan naskah buku itu hanya menjadi tumpukan arsip atau masuk gudang.
Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman pun tidak langsung
laris ketika terbit. Menurut Hanik dari Penerbit Republika, novel itu baru
laris lebih setahun kemudian. Dan sebelum novel AAC, Habib sudah menulis
sejumlah karya seperti Bercinta untuk Surga, Pudarnya Pesona Cleopatra, Di Atas
Sajadah Cinta, Dalam Mihrab Cinta, serta Ketika Cinta Bertasbih.
Kenapa Laris?
Coba perhatikan, semua novel laris menyajikan sesuatu yang
berbeda. Mereka menyajikan sesuatu yang baru. Sesuatu yang unik dan mendalam.
Atau menyajikan cara pandang berbeda terhadap sebuah persoalan, yang belum
pernah dilakukan orang. Tengok Harry Potter, The Davinci Code, Laskar Pelangi,
dan Ayat-Ayat Cinta. Khusus Ayat-Ayat Cinta sebetulnya idenya sudah biasa, tapi
ditulis dengan cara yang lain, yang sangat berbeda dari novel-novel yang pernah
ada sebelumnya. Ia memasukkan nuansa relegiusitas ke dalam novel itu.
Selain itu, novel ini terdongkrak karena sejumlah hal.
Pertama, kala itu sedang maraknya novel yang memamerkan paha dan dada, sehingga
pembaca membutuhkan bacaan lain yang berbeda. Sejumlah kalangan menolak novel
semacam itu, lalu Ayat-Ayat Cinta diyakini mampu menjawab kegelisahan itu.
Kedua, Habiburrahman datang dari komunitas yang jumlah
anggotanya cukup besar (sekitar 5 ribu
orang) yakni Forum Lingkar Pena (FLP). Dengan promosi dari mulut ke mulut di
antara anggota saja, novel itu sudah laris di kalangan mereka sendiri. Itu
ditambah lagi dengan promosi dari mulut ke mulut ke luar komunitas, sehingga
membuat orang jadi penasaran untuk membacanya. Ketiga, seperti halnya Laskar
Pelangi, novel itu menggunakan jasa Event Organizer untuk mempromosikannya.
Bagaimana Memprediksi
Novel Bakal Laris?
Saya pernah melontarkan pertanyaan ini kepada seorang editor
senior Penerbit Grasindo, Pamusuk Eneste. Tahukah Anda apa jawaban Pamusuk yang
juga sastrawan itu? Ia mengatakan, “penerbit tidak tahu bahwa novel itu bakal
laris.” Intinya, tidak ada rumus seperti apa novel laris. Terpenting, tulislah
sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda, sesuatu yang unik, lugas dan mendalam.
Selain hal di atas, saya mencoba memperhatikan sejumlah
karakter lain dari novel laris itu. Pertama, ceritanya menyentuh dan menggugah
emosi, entah itu perasaan senang, bahagia, sedih, prihatin, dan seterusnya.
Kedua, menampilkan hal-hal yang dramatik dan penuh ketegangan, sehingga pembaca
penasaran ingin terus mengikuti cerita. Ketiga, mampu memberi inspirasi
tertentu kepada pembaca sehingga pembaca terdorong untuk lebih maju atau
menjadi peduli pada sesuatu. Keempat, trend pasar.
Ketika novel Ayat-ayat Cinta meledak di pasar, banyak judul
novel yang mirip-mirip Ayat-Ayat Cinta bahkan muncul nama yang menggunakan El,
termasuk cover novel yang mirip novel laris itu. Pada masa ini banyak sekali
terbit novel bernapaskan islami, meski oleh salah satu penerbit tak dibarengi
mutu, tapi saat itu memang novel-novel islami sedang booming dan kemudian
surut.
Tapi menurut penerbit trend pasar tak bisa ditebak. Pasar
punya logikanya sendiri. Seorang penulis atau penerbit tidak tahu apakah novel
yang akan diterbitkan kelak laku keras dan menjadi trend atau biasa saja
penjualannya. “Terpenting tugas menulis adalah terus berkarya. Karya yang bagus
dan bisa diterima masyarakat pasti akan mendapat apresisi,” kata editor senior
Grasindo, Pamusuk Eneste.
Modal Menulis
Modal utama menulis adalah membaca. Pater Bolsius
mengatakan, “if you don’t read, you don’t write”. Jika Anda tidak punya
kebiasan membaca, Anda tidak bisa menulis. Tokoh lain ada yang mengatakan, Anda
tidak akan menjadi penulis yang baik jika Anda bukan pembaca yang baik. Dalam
menulis, Anda tidak hanya bisa mengandalkan imajinasi. Anda perlu pengetahuan,
data-data dan fakta-fakta, teori-teori dan gagasan pendukung, juga pelecut
gagasan. Kadang gagasan lahir dari membaca sesuatu, meski hasilnya sama sekali
tidak berkait dengan apa yang kita baca.
Selain itu, membaca adalah metode belajar paling efektif.
Bagaimana Anda mengetahui bahwa puisi Anda bagus, jika Anda tidak pernah
membaca puisi-puisi bagus di koran-koran terkemuka atau puisi milik para
penyair bagus. Bagaimana Anda tahu novel Anda mengandung kebaruan, jika Anda
tidak pernah membaca novel lain. Jangan-jangan apa yang Anda tulis sudah banyak
sekali ditulis orang. Tapi Anda tidak tahu, karena tidak pernah membacanya.
Menulis itu Berpikir
Menulis itu tidak sekedar untuk menumpahkan isi hati atau
imajinasi, tapi juga berpikir. Dengan menulis, Anda akan dilatih berpikir dan
terus berpikir. Robert Pinckret, dalam bukunya The Truth About English,
“writing is thinking. If you can’t think you can’t write. Learning to think”.
Menulis adalah berpikir. Kalau Anda tak bisa berpikir, Anda tak bisa menulis.
Belajar menulis berarti belajar berpikir.
Tidak heran, banyak orang menjadi pintar karena menulis.
Tapi banyak juga orang pintar yang tidak menulis. Sehingga kepintarannya tidak
pernah muncul ke permukaan. Jadi, sepintar apa pun Anda, kalau tidak pernah
mengungkapkan gagasan atau kepintaran Anda kepada publik (lewat tulisan salah
satunya), Anda tidak akan menjadi siapa-siapa alias hanya menjadi sosok biasa
saja.
Pantang Menyerah
Pekerjaan apa pun jika dilakukan dengan sikap cengeng pasti
tidak pernah berhasil. Contohnya, jika Anda ingin pergi ke suatu tempat, tapi
di jalan Anda terus-menerus mengeluh capek, panas, dan sebagainya, pasti Anda
tidak akan sampai ke tempat tujuan. Jadi jangan cengeng. Hidup harus selalu
optimis. Selalu ada jalan di depan. Selalu ada cahaya di seberang bukit.
Songsonglah cahaya itu meski harus berlari-lari. Jika terjatuh, segera bangun,
dan berlari lagi.
Naskah Harry Potter pernah 14 kali ditolak penerbit, tapi
karena JK Rowling tidak cepat menyerah membuatnya berhasil. Dulu, saya juga
berpuluh-puluh cerpen dan puisi-puisi saya ditolak koran, jika saya cengeng
tentu saya tidak akan duduk bersama Anda pada hari ini. Saya pasti tidak akan
menjadi penulis.
Jadi, jangan langsung “patah hati” ketika karya kita ditolak
koran atau penerbit. Baca ulang karya itu, bandingkan dengan karya orang lain,
jika terasa masih ada kurang, lakukan perbaikan. Minta pula masukan dan
pendapat orang, terutama yang mengerti tentang tulisan Anda. Gandakan
(fotocopy) beberapa eksemplar naskah Anda dan berikanlah kepada orang-orang
yang Anda percaya untuk dibaca.
Jangan lupa, sangat banyak koran dan penerbit di negeri ini.
Jika sebuah naskah novel ditolak oleh sebuah penerbit, boleh jadi penerbit lain
akan menerima.
Jangan Cepat Puas
Penyakit yang kerap melanda para penulis pemula adalah cepat
puas. Baru beberapa cerpen atau novel diterbitkan, sudah merasa puas. Ini
adalah sikap berbahaya. Jika seseorang cepat merasa puas dengan hasil yang
telah dicapai, niscaya ia tidak akan lebih maju. Sebab, ia merasa dirinya sudah
berhasil dan tidak punya lagi sesuatu yang ingin dicapai. Ia menjadi malas
belajar dan mengembangkan diri.
Jadi, jangan pernah cepat puas jika Anda ingin berhasil dan
mencapai sesuatu yang jauh lebih baik. Dalam hal kreativitas, tengoklah ke
atas. Masih ada langit di atas langit. Lebih bagus, Anda punya “lawan” yang
harus Anda taklukkan. Misalnya, jika novel Laskar Pelangi cuma laku 500 ribu eksemplar,
buku Anda harus laku di atas satu juta eksemplar. Intinya: kalau dia bisa,
mengapa saya tidak bisa. Bahkan, saya harus bisa lebih dari dia.
Punya Impian
Ini penting. Seseorang tanpa impian sama halnya dengan
seseorang tanpa bayangan masa depan. Apa itu impian? Ini adalah sebuah harapan,
sebuah cita-cita, yang direncanakan sejak awal dengan baik dan ditargetkan akan
tercapai pada sebuah waktu tertentu. Misalnya Anda punya impian dua tahun lagi
sudah menghasilkan 10 novel laris. Atau Anda punya impian setahun lagi bisa
beli mobil dari hasil menulis novel.
Apa pun impian Anda, silakan saja. Sebab, ada kekuatan
tertentu dan energi positif yang akan terus mengawal Anda untuk meraih impian
itu. Anda akan terdorong terus untuk begitu bersemangat mengerjakan sesuatu
yang mendukung pencapaian impian itu. Kalau Anda bermimpi dua tahun lagi sudah
punya 10 novel laris, tentu Anda akan terdorong untuk bekerja keras menulis
novel dan terus belajar untuk menghasilkan novel yang diperkirakan bisa laris.
Masih bingung dengan impian? Oke, coba kita inventarisir
impian kita yang sudah tercapai. Mulai dari saya misalnya. Dulu, saya bermimpi
tinggal di Depok. Kenapa Depok? Karena banyak penulis tinggal di Depok dan saya
ingin dekat mereka. Rasanya saya bangga ketika di akhir tulisan menulis tanggal
penulisanya dengan Depok. Saya pernah bermimpi suatu saat menjadi pembicara di
seminar-seminar. Selain itu, saya pernah bermimpi punya suami wartawan atau
dosen.
Setelah saya ingat-ingat lagi, rasa-rasanya semua impian itu
tercapai. Kini saya tinggal di depok, kerap menjadi pembicara seminar, dan
punya suami wartawan dan sedang merintis jalan juga untuk menjadi dosen, kini
ia sedang kuliah pascasarjana. Apakah sehabis bermimpi saya ongkang-ongkang
kaki? Jelas tidak. Saya bekerja keras untuk mewujudkannya. Disamping itu, saya
merasa ada kekuatan “luar biasa” yang terus mendorong dan membimbing saya untuk
terus maju. Itulah kekuatan impian.
Sekarang, silakan ingat-ingat apa saja impian Anda yang
tercapai.
Memasang Target
Ada seorang penulis yang sangat dekat dengan saya punya
target begini. Ia tidak akan memakai gaji rutinnya di kantor untuk membiayai
tranportnya (bensin mobil). Rata-rata sehari, ia membutuhkan Rp 50 ribu untuk
transport. Berarti, dalam sebulan, ia mesti punya uang Rp. 1.500.000. Jadi
sebulan ia pasang target minimal harus punya Rp 1.500.000 untuk transport. Dari
mana uang itu? Jawabnya: dari menulis.
Ia menulis berbagai hal, mulai menulis cerpen, puisi, hingga
opini di berbagai surat kabar. Ia juga kerap menjadi pembicara seminar, pelatih
pelatihan menulis, instruktur workshop jurnalistik, jadi editor buku, dan
sebagainya. Ternyata, ia tidak terlalu sulit untuk memenuhi kebutuhan itu.
Terkadang, pendapatannya dari pekerjaan menulis (termasuk menjadi intruktur
berbagai pelatihan) melebihi dari jumlah gajinya yang diterima di kantor.
Target ini lebih berorientasi pada angka-angka. Sama seperti
perusahaan, kita harus mengelola sumber daya dalam diri kita untuk dijadikan
uang. Salah satunya dengan keterampilan menulis. Mari kita hitung. Di Sumatera
Barat, katakanlah kini ada 10 koran yang memberi honor bagus (ini misalnya
saja, saya tidak tahu pastinya). Jika tiap minggu ada dua tulisan Anda dimuat
di 10 koran berbeda itu, berarti dalam satu bulan Anda telah menghasilkan 8
tulisan. Jika satu koran memberi honor Rp 100 ribu, berarti dari menulis ini
Anda mendapatkan Rp 800 ribu. Itu baru dari koran di Sumatera Barat.
Jika Anda melebarkan sayap menulis ke berbagai koran di
berbagai daerah, hitung saja berapa rupiah honor yang akan Anda terima. Atau,
jika ada satu saja tulisan Anda yang muncul di koran nasional (Jakarta) tiap
minggu, dengan honor rata-rata Rp 500 ribu, berarti dalam sebulan Anda sudah
mendapatkan honor Rp 2 juta. Menarik kan?
Begitu pula menulis novel. Jika rata-rata satu hari Anda
menulis 5 halaman novel dengan jarak baris satu spasi, berarti dalam sebulan
Anda sudah menghasilkan 150 halaman novel. Itu sudah cukup ketebalannya untuk
sebuah novel standar yang ketika jadi buku akan berkisar sekitar 250-300
halaman, tergantung ukuran buku. Jika diasumsikan membaca ulang dan mengedit
kembali membutuhkan waktu sebulan, berarti Anda hanya perlu dua bulan untuk
menulis satu novel.
Jadi, dalam setahun Anda bisa menulis enam novel. Jika satu
novel (katakanlah tidak meledak) laku 2.500 eksemplar dengan harga @ Rp 40
ribu. Dengan asumsi rata-rata royalti 10 persen, maka satu novel Anda bisa
mendapatkan Rp 10 juta. Jika Anda menulis enam novel, berarti dalam setahun
pendapatan Anda dari menulis adalah Rp 60 juta. Bayangkan, jika salah satu
diantara novel-novel itu laris manis dan bisa terjual sampai lebih 100 ribu
eksemplar.
Asyik kan? Nah, tunggu apa lagi, mulai sekarang, ayo
menulis, dan pasang target berapa halaman harus diselesaikan sehari, berapa
bulan satu novel, dan berapa novel bisa selesai dalam setahun. Dengan begitu,
hitung-hitungannya akan menjadi jelas. Anda bisa merencanakan sesuatu untuk
setahun mendatang, bahkan lebih. Tapi ingat, jangan cuma bermimpi, melainkan
wujudkan mimpi itu dengan ketekunan dan kerja keras.
Jangan Banyak Alasan
Dulu, saya menulis dengan mesin ketik pinjaman. Sering, saya
menulis dulu di kertas folio baru kemudian saya bawa ke tempat teman untuk saya
ketikkan. Besoknya, tulisan itu saya masukkan ke dalam amplop dan saya antar ke
kantor pos untuk disampaikan ke redaksi koran. Kadang, saya mengetik di tempat
orang sampai larut malam. Apa boleh buat, karena saya tidak punya mesin ketik
sendiri.
Sekarang, teknologi sudah begitu maju, dan itu sangat
memudahkan. Mengirim karya ke koran atau penerbit tidak perlu lagi pakai pos,
cukup pakai email. Jika belum punya komputer sendiri, jangan jadikan alasan
untuk tidak menulis. Tulis dulu di kertas folio atau buku, lalu bawa ke rental
komputer dan ketik. Jika belum bisa mengoperasikan internet, jangan jadikan
alasan untuk tidak mengirim. Belajar atau minta tolong teman.
Juga tidak ada alasan tidak punya waktu. Mari kita hitung.
Waktu semuanya 24 jam. Maksimal kita tidur 8 jam. Maksimal kita bekerja atau
sekolah 8 jam. Jadi, masih 8 jam lagi yang nganggur tiap hari. Dari delapan jam
itu, sisakan barang dua-tiga jam saja tiap hari untuk menulis dan membaca. Jika
bingung, coba bikin jadwal, dan temukan ritme kapan enaknya menulis, misalnya
pagi-pagi sehabis shalat subuh, sore, sehabis magrib, atau kapan saja yang
membuat Anda tidak punya beban dan rileks.
Manajemen Diri
Ada ahli manajemen yang berkata begini: perlakukan diri Anda
seperti halnya sebuah perusahaan. Artinya, Anda harus punya manajemen. Ini
bukan berarti Anda harus punya sekretaris, staf dan segala macam. Kalau ada
boleh juga, saya juga mau, he...he... Tapi maksudnya bukan itu. Manajemen
disini adalah bagaimana merencanakan, memimpin, dan melaksanakan tugas-tugas,
untuk mencapai tujuan yang telah Anda gariskan.
Misalnya: mengatur waktu menulis, merencanakan sebuah karya
ditulis untuk dikirimkan ke penerbit apa, tema apa, berapa lama selesainya,
siapa yang harus dihubungi di penerbit itu, siapa yang harus memberikan
testimoni tentang karya itu di kulit buku, dan kira-kira kapan sebuah topik
tertentu cocok untuk dilempar ke pasar, apa trend karya yang sedang
digandrungi, dan sebagainya. Termasuk tugas manajerial adalah menjadwalkan
waktu untuk ketemu editor, penerbit dan bernegosiasi tentang royalti.
Belakangan, sebagaimana sebuah perusahaan, seseorang juga
perlu merancang nama yang mudah ingat. Apalagi, jika Anda bergerak dalam genre
novel pop. Jika Mustafa Ismail yang menulis novel pop remaja, besar kemungkinan
tidak akan laku. Sebab, nama itu terasa berat. Tapi jika yang menulis bernama
Vivi Riana, mungkin akan laris manis, karena itu sangat dekat dengan dunia
remaja kini.
Ini bukan anjuran memakai nama samaran. Sebaiknya, cobalah
berangkat dari nama Anda sendiri.
Misalnya Mustafa Ismail. Ia pernah menulis buku cerita untuk anak dengan nama
Tafa. Setelah sadar nama itu adalah brand, dalam novel terbaru saya yang
bergenre pop saya tak lagi menggunakan nama panjang, tapi cukup nama pendek
saja: Dianing. Intinya sih, nama itu yang mudah diingat sehingga mudah untuk
ngetop.
Jika nama Anda, misalnya Suryanto Natasastra, barangkali
Anda bisa menyingkatnya dengan Surya Nata. Seorang penulis novel, Ngarto
Februana, ketika meluncurkan novel terbarunya beberapa waktu lalu, penerbit
minta izin untuk menggunakan hanya nama Februana di kulit depan novel.
Sementara nama lengkap tetapi ditulis di bagian biodata di dalam.
Terus, jika Anda pernah baca novel Tere Liye, bayangan Anda
siapakah penulis ini: laki-laki atau perempuan? Bayangan saya ketika mendengar
adalah seorang perempuan. Tapi suatu kali ketika berkunjung ke penerbit
Republika saya baru tahu dia adalah seorang laki-laki bernama Darwis.
Masih banyak tokoh publik yang kemudian menyederhanakan
namanya agar mudah diucapkan sekaligus mudah diingat. Terutama di kalangan
selebritas. Dan jangan lupa, dunia kepenulisan kini telah masuk dunia
selebritas, sebuah industri, yakni industri kreatif. Nah, penulis pun harus
membranding diri dengan semangat industrial itu.
Selamat menulis. ***
DIANING WIDYA
YUDHISTIRA, penulis novel Sintren (lima besar Khatulistiwa Literary Award
2007), Perempuan Mencari Tuhan (2007), Nawang (2009), dan Weton (2009), buku
puisi I Love You Ibu (2008), dan buku Satu Istri Saja Cukup (2009). Blog
pribadi dan karya: http://dianing.wordpress.com,
http://penarisintren.wordpress.com, http://novelnawang.co.cc, http://novelweton.co.cc. Esai ini sebagai
makalah dalam acara peluncuran novel “Cinta di Kota Serambi” karya Irzen Hawer
(Padangpanjang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar