Glitter Text Generator at TextSpace.net

Selasa, 18 September 2012

Ingin Terkenal dan Kaya? Menulislah!

Ingin Terkenal dan Kaya? Menulislah!

Oleh: Dianing Widya Yudhistira
Mengapa Menulis?
Pernahkah Anda memiliki keinginan untuk dikenal orang banyak, memiliki rumah sendiri, memiliki mobil bagus, juga jalan-jalan ke berbagai kota bahkan negara? Semua itu hanya bisa diwujudkan dengan bekerja keras. Salah satunya dengan menulis. Mengapa? Menulis juga salah satu kegiatan yang menghasilkan uang, dan bisa dijadikan profesi. Artinya menulis bukan lagi sekedar hobi.
Banyak penulis yang kemudian menjadi terkenal dan kemudian kaya raya. Kalau di Indonesia, kita mengenal Habiburrahman El Sirazy, Andrea Hirata, Ayu Utami, dan lain-lain. Di luar negeri, misalnya ada Dan Brown dan JK Rowlling. Sebelum menulis, nama-nama itu bukan siapa-siapa. Mereka bukan orang terkenal.
JK Rowling, misalnya, sebelumnya hidup sangat sederhana. Untuk menghemat listrik di rumahnya, ia memilih menulis di kafe. Tapi, tahukah Anda berapa kekayaan JK Rowling kini?  Sungguh fantastis: US $ 1 miliar! Ia menjadi salah satu orang terkaya di Inggris, bahkan di dunia. Asyik kan? Anda mau? Pasti mau dong. Saya juga mau. Kalau mau, mengapa tidak langsung memulai menulis?
Kerja Keras
Tapi, sukses tidak didapatkan secara simsalabim abrakadabra. Semua perlu proses. Semua perlu ketekunan, semangat untuk belajar, semangat untuk maju, tak  kenal menyerah, dan terus kerja keras. Sejumlah penulis terkenal dan penulis laris kini tidak mendapatkan kesuksesan itu secara spontan.
Dan Brown telah menulis sejumlah buku, tapi baru buku keempat yakni “The Davinci Code” yang laris. Setelah itu, buku-buku dia sebelumnya juga ikut laris. Tapi ada pula yang buku pertama langsung laris, seperti JK Rowling dengan buku Harry Potter. Namun, proses menulisnya sangat panjang. Novelnya itu baru terbit lima tahun setelah ditulis. Sebelumnya, novel ini 14 kali ditolak penerbit. Bayangkan!
Seandainya JK Rowling tidak punya semangat untuk maju dan tahan banting, pasti ia tidak akan menjadi seperti sekarang dan besar kemungkinan naskah buku itu hanya menjadi tumpukan arsip atau masuk gudang.
Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman pun tidak langsung laris ketika terbit. Menurut Hanik dari Penerbit Republika, novel itu baru laris lebih setahun kemudian. Dan sebelum novel AAC, Habib sudah menulis sejumlah karya seperti Bercinta untuk Surga, Pudarnya Pesona Cleopatra, Di Atas Sajadah Cinta, Dalam Mihrab Cinta, serta Ketika Cinta Bertasbih.
Kenapa Laris?
Coba perhatikan, semua novel laris menyajikan sesuatu yang berbeda. Mereka menyajikan sesuatu yang baru. Sesuatu yang unik dan mendalam. Atau menyajikan cara pandang berbeda terhadap sebuah persoalan, yang belum pernah dilakukan orang. Tengok Harry Potter, The Davinci Code, Laskar Pelangi, dan Ayat-Ayat Cinta. Khusus Ayat-Ayat Cinta sebetulnya idenya sudah biasa, tapi ditulis dengan cara yang lain, yang sangat berbeda dari novel-novel yang pernah ada sebelumnya. Ia memasukkan nuansa relegiusitas ke dalam novel itu.
Selain itu, novel ini terdongkrak karena sejumlah hal. Pertama, kala itu sedang maraknya novel yang memamerkan paha dan dada, sehingga pembaca membutuhkan bacaan lain yang berbeda. Sejumlah kalangan menolak novel semacam itu, lalu Ayat-Ayat Cinta diyakini mampu menjawab kegelisahan itu.
Kedua, Habiburrahman datang dari komunitas yang jumlah anggotanya cukup besar  (sekitar 5 ribu orang) yakni Forum Lingkar Pena (FLP). Dengan promosi dari mulut ke mulut di antara anggota saja, novel itu sudah laris di kalangan mereka sendiri. Itu ditambah lagi dengan promosi dari mulut ke mulut ke luar komunitas, sehingga membuat orang jadi penasaran untuk membacanya. Ketiga, seperti halnya Laskar Pelangi, novel itu menggunakan jasa Event Organizer untuk mempromosikannya.
Bagaimana Memprediksi Novel Bakal Laris?
Saya pernah melontarkan pertanyaan ini kepada seorang editor senior Penerbit Grasindo, Pamusuk Eneste. Tahukah Anda apa jawaban Pamusuk yang juga sastrawan itu? Ia mengatakan, “penerbit tidak tahu bahwa novel itu bakal laris.” Intinya, tidak ada rumus seperti apa novel laris. Terpenting, tulislah sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda, sesuatu yang unik, lugas dan mendalam.
Selain hal di atas, saya mencoba memperhatikan sejumlah karakter lain dari novel laris itu. Pertama, ceritanya menyentuh dan menggugah emosi, entah itu perasaan senang, bahagia, sedih, prihatin, dan seterusnya. Kedua, menampilkan hal-hal yang dramatik dan penuh ketegangan, sehingga pembaca penasaran ingin terus mengikuti cerita. Ketiga, mampu memberi inspirasi tertentu kepada pembaca sehingga pembaca terdorong untuk lebih maju atau menjadi peduli pada sesuatu. Keempat, trend pasar.
Ketika novel Ayat-ayat Cinta meledak di pasar, banyak judul novel yang mirip-mirip Ayat-Ayat Cinta bahkan muncul nama yang menggunakan El, termasuk cover novel yang mirip novel laris itu. Pada masa ini banyak sekali terbit novel bernapaskan islami, meski oleh salah satu penerbit tak dibarengi mutu, tapi saat itu memang novel-novel islami sedang booming dan kemudian surut.
Tapi menurut penerbit trend pasar tak bisa ditebak. Pasar punya logikanya sendiri. Seorang penulis atau penerbit tidak tahu apakah novel yang akan diterbitkan kelak laku keras dan menjadi trend atau biasa saja penjualannya. “Terpenting tugas menulis adalah terus berkarya. Karya yang bagus dan bisa diterima masyarakat pasti akan mendapat apresisi,” kata editor senior Grasindo, Pamusuk Eneste.
Modal Menulis
Modal utama menulis adalah membaca. Pater Bolsius mengatakan, “if you don’t read, you don’t write”. Jika Anda tidak punya kebiasan membaca, Anda tidak bisa menulis. Tokoh lain ada yang mengatakan, Anda tidak akan menjadi penulis yang baik jika Anda bukan pembaca yang baik. Dalam menulis, Anda tidak hanya bisa mengandalkan imajinasi. Anda perlu pengetahuan, data-data dan fakta-fakta, teori-teori dan gagasan pendukung, juga pelecut gagasan. Kadang gagasan lahir dari membaca sesuatu, meski hasilnya sama sekali tidak berkait dengan apa yang kita baca.
Selain itu, membaca adalah metode belajar paling efektif. Bagaimana Anda mengetahui bahwa puisi Anda bagus, jika Anda tidak pernah membaca puisi-puisi bagus di koran-koran terkemuka atau puisi milik para penyair bagus. Bagaimana Anda tahu novel Anda mengandung kebaruan, jika Anda tidak pernah membaca novel lain. Jangan-jangan apa yang Anda tulis sudah banyak sekali ditulis orang. Tapi Anda tidak tahu, karena tidak pernah membacanya.
Menulis itu Berpikir
Menulis itu tidak sekedar untuk menumpahkan isi hati atau imajinasi, tapi juga berpikir. Dengan menulis, Anda akan dilatih berpikir dan terus berpikir. Robert Pinckret, dalam bukunya The Truth About English, “writing is thinking. If you can’t think you can’t write. Learning to think”. Menulis adalah berpikir. Kalau Anda tak bisa berpikir, Anda tak bisa menulis. Belajar menulis berarti belajar berpikir.
Tidak heran, banyak orang menjadi pintar karena menulis. Tapi banyak juga orang pintar yang tidak menulis. Sehingga kepintarannya tidak pernah muncul ke permukaan. Jadi, sepintar apa pun Anda, kalau tidak pernah mengungkapkan gagasan atau kepintaran Anda kepada publik (lewat tulisan salah satunya), Anda tidak akan menjadi siapa-siapa alias hanya menjadi sosok biasa saja.
Pantang Menyerah
Pekerjaan apa pun jika dilakukan dengan sikap cengeng pasti tidak pernah berhasil. Contohnya, jika Anda ingin pergi ke suatu tempat, tapi di jalan Anda terus-menerus mengeluh capek, panas, dan sebagainya, pasti Anda tidak akan sampai ke tempat tujuan. Jadi jangan cengeng. Hidup harus selalu optimis. Selalu ada jalan di depan. Selalu ada cahaya di seberang bukit. Songsonglah cahaya itu meski harus berlari-lari. Jika terjatuh, segera bangun, dan berlari lagi.
Naskah Harry Potter pernah 14 kali ditolak penerbit, tapi karena JK Rowling tidak cepat menyerah membuatnya berhasil. Dulu, saya juga berpuluh-puluh cerpen dan puisi-puisi saya ditolak koran, jika saya cengeng tentu saya tidak akan duduk bersama Anda pada hari ini. Saya pasti tidak akan menjadi penulis.
Jadi, jangan langsung “patah hati” ketika karya kita ditolak koran atau penerbit. Baca ulang karya itu, bandingkan dengan karya orang lain, jika terasa masih ada kurang, lakukan perbaikan. Minta pula masukan dan pendapat orang, terutama yang mengerti tentang tulisan Anda. Gandakan (fotocopy) beberapa eksemplar naskah Anda dan berikanlah kepada orang-orang yang Anda percaya untuk dibaca.
Jangan lupa, sangat banyak koran dan penerbit di negeri ini. Jika sebuah naskah novel ditolak oleh sebuah penerbit, boleh jadi penerbit lain akan menerima.
Jangan Cepat Puas
Penyakit yang kerap melanda para penulis pemula adalah cepat puas. Baru beberapa cerpen atau novel diterbitkan, sudah merasa puas. Ini adalah sikap berbahaya. Jika seseorang cepat merasa puas dengan hasil yang telah dicapai, niscaya ia tidak akan lebih maju. Sebab, ia merasa dirinya sudah berhasil dan tidak punya lagi sesuatu yang ingin dicapai. Ia menjadi malas belajar dan mengembangkan diri.
Jadi, jangan pernah cepat puas jika Anda ingin berhasil dan mencapai sesuatu yang jauh lebih baik. Dalam hal kreativitas, tengoklah ke atas. Masih ada langit di atas langit. Lebih bagus, Anda punya “lawan” yang harus Anda taklukkan. Misalnya, jika novel Laskar Pelangi cuma laku 500 ribu eksemplar, buku Anda harus laku di atas satu juta eksemplar. Intinya: kalau dia bisa, mengapa saya tidak bisa. Bahkan, saya harus bisa lebih dari dia.
Punya Impian
Ini penting. Seseorang tanpa impian sama halnya dengan seseorang tanpa bayangan masa depan. Apa itu impian? Ini adalah sebuah harapan, sebuah cita-cita, yang direncanakan sejak awal dengan baik dan ditargetkan akan tercapai pada sebuah waktu tertentu. Misalnya Anda punya impian dua tahun lagi sudah menghasilkan 10 novel laris. Atau Anda punya impian setahun lagi bisa beli mobil dari hasil menulis novel.
Apa pun impian Anda, silakan saja. Sebab, ada kekuatan tertentu dan energi positif yang akan terus mengawal Anda untuk meraih impian itu. Anda akan terdorong terus untuk begitu bersemangat mengerjakan sesuatu yang mendukung pencapaian impian itu. Kalau Anda bermimpi dua tahun lagi sudah punya 10 novel laris, tentu Anda akan terdorong untuk bekerja keras menulis novel dan terus belajar untuk menghasilkan novel yang diperkirakan bisa laris.
Masih bingung dengan impian? Oke, coba kita inventarisir impian kita yang sudah tercapai. Mulai dari saya misalnya. Dulu, saya bermimpi tinggal di Depok. Kenapa Depok? Karena banyak penulis tinggal di Depok dan saya ingin dekat mereka. Rasanya saya bangga ketika di akhir tulisan menulis tanggal penulisanya dengan Depok. Saya pernah bermimpi suatu saat menjadi pembicara di seminar-seminar. Selain itu, saya pernah bermimpi punya suami wartawan atau dosen.
Setelah saya ingat-ingat lagi, rasa-rasanya semua impian itu tercapai. Kini saya tinggal di depok, kerap menjadi pembicara seminar, dan punya suami wartawan dan sedang merintis jalan juga untuk menjadi dosen, kini ia sedang kuliah pascasarjana. Apakah sehabis bermimpi saya ongkang-ongkang kaki? Jelas tidak. Saya bekerja keras untuk mewujudkannya. Disamping itu, saya merasa ada kekuatan “luar biasa” yang terus mendorong dan membimbing saya untuk terus maju. Itulah kekuatan impian.
Sekarang, silakan ingat-ingat apa saja impian Anda yang tercapai.
Memasang Target
Ada seorang penulis yang sangat dekat dengan saya punya target begini. Ia tidak akan memakai gaji rutinnya di kantor untuk membiayai tranportnya (bensin mobil). Rata-rata sehari, ia membutuhkan Rp 50 ribu untuk transport. Berarti, dalam sebulan, ia mesti punya uang Rp. 1.500.000. Jadi sebulan ia pasang target minimal harus punya Rp 1.500.000 untuk transport. Dari mana uang itu? Jawabnya: dari menulis.
Ia menulis berbagai hal, mulai menulis cerpen, puisi, hingga opini di berbagai surat kabar. Ia juga kerap menjadi pembicara seminar, pelatih pelatihan menulis, instruktur workshop jurnalistik, jadi editor buku, dan sebagainya. Ternyata, ia tidak terlalu sulit untuk memenuhi kebutuhan itu. Terkadang, pendapatannya dari pekerjaan menulis (termasuk menjadi intruktur berbagai pelatihan) melebihi dari jumlah gajinya yang diterima di kantor.
Target ini lebih berorientasi pada angka-angka. Sama seperti perusahaan, kita harus mengelola sumber daya dalam diri kita untuk dijadikan uang. Salah satunya dengan keterampilan menulis. Mari kita hitung. Di Sumatera Barat, katakanlah kini ada 10 koran yang memberi honor bagus (ini misalnya saja, saya tidak tahu pastinya). Jika tiap minggu ada dua tulisan Anda dimuat di 10 koran berbeda itu, berarti dalam satu bulan Anda telah menghasilkan 8 tulisan. Jika satu koran memberi honor Rp 100 ribu, berarti dari menulis ini Anda mendapatkan Rp 800 ribu. Itu baru dari koran di Sumatera Barat.
Jika Anda melebarkan sayap menulis ke berbagai koran di berbagai daerah, hitung saja berapa rupiah honor yang akan Anda terima. Atau, jika ada satu saja tulisan Anda yang muncul di koran nasional (Jakarta) tiap minggu, dengan honor rata-rata Rp 500 ribu, berarti dalam sebulan Anda sudah mendapatkan honor Rp 2 juta. Menarik kan?
Begitu pula menulis novel. Jika rata-rata satu hari Anda menulis 5 halaman novel dengan jarak baris satu spasi, berarti dalam sebulan Anda sudah menghasilkan 150 halaman novel. Itu sudah cukup ketebalannya untuk sebuah novel standar yang ketika jadi buku akan berkisar sekitar 250-300 halaman, tergantung ukuran buku. Jika diasumsikan membaca ulang dan mengedit kembali membutuhkan waktu sebulan, berarti Anda hanya perlu dua bulan untuk menulis satu novel.
Jadi, dalam setahun Anda bisa menulis enam novel. Jika satu novel (katakanlah tidak meledak) laku 2.500 eksemplar dengan harga @ Rp 40 ribu. Dengan asumsi rata-rata royalti 10 persen, maka satu novel Anda bisa mendapatkan Rp 10 juta. Jika Anda menulis enam novel, berarti dalam setahun pendapatan Anda dari menulis adalah Rp 60 juta. Bayangkan, jika salah satu diantara novel-novel itu laris manis dan bisa terjual sampai lebih 100 ribu eksemplar.
Asyik kan? Nah, tunggu apa lagi, mulai sekarang, ayo menulis, dan pasang target berapa halaman harus diselesaikan sehari, berapa bulan satu novel, dan berapa novel bisa selesai dalam setahun. Dengan begitu, hitung-hitungannya akan menjadi jelas. Anda bisa merencanakan sesuatu untuk setahun mendatang, bahkan lebih. Tapi ingat, jangan cuma bermimpi, melainkan wujudkan mimpi itu dengan ketekunan dan kerja keras.
Jangan Banyak Alasan
Dulu, saya menulis dengan mesin ketik pinjaman. Sering, saya menulis dulu di kertas folio baru kemudian saya bawa ke tempat teman untuk saya ketikkan. Besoknya, tulisan itu saya masukkan ke dalam amplop dan saya antar ke kantor pos untuk disampaikan ke redaksi koran. Kadang, saya mengetik di tempat orang sampai larut malam. Apa boleh buat, karena saya tidak punya mesin ketik sendiri.
Sekarang, teknologi sudah begitu maju, dan itu sangat memudahkan. Mengirim karya ke koran atau penerbit tidak perlu lagi pakai pos, cukup pakai email. Jika belum punya komputer sendiri, jangan jadikan alasan untuk tidak menulis. Tulis dulu di kertas folio atau buku, lalu bawa ke rental komputer dan ketik. Jika belum bisa mengoperasikan internet, jangan jadikan alasan untuk tidak mengirim. Belajar atau minta tolong teman.
Juga tidak ada alasan tidak punya waktu. Mari kita hitung. Waktu semuanya 24 jam. Maksimal kita tidur 8 jam. Maksimal kita bekerja atau sekolah 8 jam. Jadi, masih 8 jam lagi yang nganggur tiap hari. Dari delapan jam itu, sisakan barang dua-tiga jam saja tiap hari untuk menulis dan membaca. Jika bingung, coba bikin jadwal, dan temukan ritme kapan enaknya menulis, misalnya pagi-pagi sehabis shalat subuh, sore, sehabis magrib, atau kapan saja yang membuat Anda tidak punya beban dan rileks.
Manajemen Diri
Ada ahli manajemen yang berkata begini: perlakukan diri Anda seperti halnya sebuah perusahaan. Artinya, Anda harus punya manajemen. Ini bukan berarti Anda harus punya sekretaris, staf dan segala macam. Kalau ada boleh juga, saya juga mau, he...he... Tapi maksudnya bukan itu. Manajemen disini adalah bagaimana merencanakan, memimpin, dan melaksanakan tugas-tugas, untuk mencapai tujuan yang telah Anda gariskan.
Misalnya: mengatur waktu menulis, merencanakan sebuah karya ditulis untuk dikirimkan ke penerbit apa, tema apa, berapa lama selesainya, siapa yang harus dihubungi di penerbit itu, siapa yang harus memberikan testimoni tentang karya itu di kulit buku, dan kira-kira kapan sebuah topik tertentu cocok untuk dilempar ke pasar, apa trend karya yang sedang digandrungi, dan sebagainya. Termasuk tugas manajerial adalah menjadwalkan waktu untuk ketemu editor, penerbit dan bernegosiasi tentang royalti.
Belakangan, sebagaimana sebuah perusahaan, seseorang juga perlu merancang nama yang mudah ingat. Apalagi, jika Anda bergerak dalam genre novel pop. Jika Mustafa Ismail yang menulis novel pop remaja, besar kemungkinan tidak akan laku. Sebab, nama itu terasa berat. Tapi jika yang menulis bernama Vivi Riana, mungkin akan laris manis, karena itu sangat dekat dengan dunia remaja kini.
Ini bukan anjuran memakai nama samaran. Sebaiknya, cobalah berangkat dari nama  Anda sendiri. Misalnya Mustafa Ismail. Ia pernah menulis buku cerita untuk anak dengan nama Tafa. Setelah sadar nama itu adalah brand, dalam novel terbaru saya yang bergenre pop saya tak lagi menggunakan nama panjang, tapi cukup nama pendek saja: Dianing. Intinya sih, nama itu yang mudah diingat sehingga mudah untuk ngetop.
Jika nama Anda, misalnya Suryanto Natasastra, barangkali Anda bisa menyingkatnya dengan Surya Nata. Seorang penulis novel, Ngarto Februana, ketika meluncurkan novel terbarunya beberapa waktu lalu, penerbit minta izin untuk menggunakan hanya nama Februana di kulit depan novel. Sementara nama lengkap tetapi ditulis di bagian biodata di dalam.
Terus, jika Anda pernah baca novel Tere Liye, bayangan Anda siapakah penulis ini: laki-laki atau perempuan? Bayangan saya ketika mendengar adalah seorang perempuan. Tapi suatu kali ketika berkunjung ke penerbit Republika saya baru tahu dia adalah seorang laki-laki bernama Darwis.
Masih banyak tokoh publik yang kemudian menyederhanakan namanya agar mudah diucapkan sekaligus mudah diingat. Terutama di kalangan selebritas. Dan jangan lupa, dunia kepenulisan kini telah masuk dunia selebritas, sebuah industri, yakni industri kreatif. Nah, penulis pun harus membranding diri dengan semangat industrial itu.
Selamat menulis. ***
DIANING WIDYA YUDHISTIRA, penulis novel Sintren (lima besar Khatulistiwa Literary Award 2007), Perempuan Mencari Tuhan (2007), Nawang (2009), dan Weton (2009), buku puisi I Love You Ibu (2008), dan buku Satu Istri Saja Cukup (2009). Blog pribadi dan karya: http://dianing.wordpress.com, http://penarisintren.wordpress.com, http://novelnawang.co.cc, http://novelweton.co.cc. Esai ini sebagai makalah dalam acara peluncuran novel “Cinta di Kota Serambi” karya Irzen Hawer (Padangpanjang).
Sumber: http://famindonesia.blogspot.com/2012/08/ingin-terkenal-dan-kaya-menulislah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 18 September 2012

Ingin Terkenal dan Kaya? Menulislah!

Ingin Terkenal dan Kaya? Menulislah!

Oleh: Dianing Widya Yudhistira
Mengapa Menulis?
Pernahkah Anda memiliki keinginan untuk dikenal orang banyak, memiliki rumah sendiri, memiliki mobil bagus, juga jalan-jalan ke berbagai kota bahkan negara? Semua itu hanya bisa diwujudkan dengan bekerja keras. Salah satunya dengan menulis. Mengapa? Menulis juga salah satu kegiatan yang menghasilkan uang, dan bisa dijadikan profesi. Artinya menulis bukan lagi sekedar hobi.
Banyak penulis yang kemudian menjadi terkenal dan kemudian kaya raya. Kalau di Indonesia, kita mengenal Habiburrahman El Sirazy, Andrea Hirata, Ayu Utami, dan lain-lain. Di luar negeri, misalnya ada Dan Brown dan JK Rowlling. Sebelum menulis, nama-nama itu bukan siapa-siapa. Mereka bukan orang terkenal.
JK Rowling, misalnya, sebelumnya hidup sangat sederhana. Untuk menghemat listrik di rumahnya, ia memilih menulis di kafe. Tapi, tahukah Anda berapa kekayaan JK Rowling kini?  Sungguh fantastis: US $ 1 miliar! Ia menjadi salah satu orang terkaya di Inggris, bahkan di dunia. Asyik kan? Anda mau? Pasti mau dong. Saya juga mau. Kalau mau, mengapa tidak langsung memulai menulis?
Kerja Keras
Tapi, sukses tidak didapatkan secara simsalabim abrakadabra. Semua perlu proses. Semua perlu ketekunan, semangat untuk belajar, semangat untuk maju, tak  kenal menyerah, dan terus kerja keras. Sejumlah penulis terkenal dan penulis laris kini tidak mendapatkan kesuksesan itu secara spontan.
Dan Brown telah menulis sejumlah buku, tapi baru buku keempat yakni “The Davinci Code” yang laris. Setelah itu, buku-buku dia sebelumnya juga ikut laris. Tapi ada pula yang buku pertama langsung laris, seperti JK Rowling dengan buku Harry Potter. Namun, proses menulisnya sangat panjang. Novelnya itu baru terbit lima tahun setelah ditulis. Sebelumnya, novel ini 14 kali ditolak penerbit. Bayangkan!
Seandainya JK Rowling tidak punya semangat untuk maju dan tahan banting, pasti ia tidak akan menjadi seperti sekarang dan besar kemungkinan naskah buku itu hanya menjadi tumpukan arsip atau masuk gudang.
Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman pun tidak langsung laris ketika terbit. Menurut Hanik dari Penerbit Republika, novel itu baru laris lebih setahun kemudian. Dan sebelum novel AAC, Habib sudah menulis sejumlah karya seperti Bercinta untuk Surga, Pudarnya Pesona Cleopatra, Di Atas Sajadah Cinta, Dalam Mihrab Cinta, serta Ketika Cinta Bertasbih.
Kenapa Laris?
Coba perhatikan, semua novel laris menyajikan sesuatu yang berbeda. Mereka menyajikan sesuatu yang baru. Sesuatu yang unik dan mendalam. Atau menyajikan cara pandang berbeda terhadap sebuah persoalan, yang belum pernah dilakukan orang. Tengok Harry Potter, The Davinci Code, Laskar Pelangi, dan Ayat-Ayat Cinta. Khusus Ayat-Ayat Cinta sebetulnya idenya sudah biasa, tapi ditulis dengan cara yang lain, yang sangat berbeda dari novel-novel yang pernah ada sebelumnya. Ia memasukkan nuansa relegiusitas ke dalam novel itu.
Selain itu, novel ini terdongkrak karena sejumlah hal. Pertama, kala itu sedang maraknya novel yang memamerkan paha dan dada, sehingga pembaca membutuhkan bacaan lain yang berbeda. Sejumlah kalangan menolak novel semacam itu, lalu Ayat-Ayat Cinta diyakini mampu menjawab kegelisahan itu.
Kedua, Habiburrahman datang dari komunitas yang jumlah anggotanya cukup besar  (sekitar 5 ribu orang) yakni Forum Lingkar Pena (FLP). Dengan promosi dari mulut ke mulut di antara anggota saja, novel itu sudah laris di kalangan mereka sendiri. Itu ditambah lagi dengan promosi dari mulut ke mulut ke luar komunitas, sehingga membuat orang jadi penasaran untuk membacanya. Ketiga, seperti halnya Laskar Pelangi, novel itu menggunakan jasa Event Organizer untuk mempromosikannya.
Bagaimana Memprediksi Novel Bakal Laris?
Saya pernah melontarkan pertanyaan ini kepada seorang editor senior Penerbit Grasindo, Pamusuk Eneste. Tahukah Anda apa jawaban Pamusuk yang juga sastrawan itu? Ia mengatakan, “penerbit tidak tahu bahwa novel itu bakal laris.” Intinya, tidak ada rumus seperti apa novel laris. Terpenting, tulislah sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda, sesuatu yang unik, lugas dan mendalam.
Selain hal di atas, saya mencoba memperhatikan sejumlah karakter lain dari novel laris itu. Pertama, ceritanya menyentuh dan menggugah emosi, entah itu perasaan senang, bahagia, sedih, prihatin, dan seterusnya. Kedua, menampilkan hal-hal yang dramatik dan penuh ketegangan, sehingga pembaca penasaran ingin terus mengikuti cerita. Ketiga, mampu memberi inspirasi tertentu kepada pembaca sehingga pembaca terdorong untuk lebih maju atau menjadi peduli pada sesuatu. Keempat, trend pasar.
Ketika novel Ayat-ayat Cinta meledak di pasar, banyak judul novel yang mirip-mirip Ayat-Ayat Cinta bahkan muncul nama yang menggunakan El, termasuk cover novel yang mirip novel laris itu. Pada masa ini banyak sekali terbit novel bernapaskan islami, meski oleh salah satu penerbit tak dibarengi mutu, tapi saat itu memang novel-novel islami sedang booming dan kemudian surut.
Tapi menurut penerbit trend pasar tak bisa ditebak. Pasar punya logikanya sendiri. Seorang penulis atau penerbit tidak tahu apakah novel yang akan diterbitkan kelak laku keras dan menjadi trend atau biasa saja penjualannya. “Terpenting tugas menulis adalah terus berkarya. Karya yang bagus dan bisa diterima masyarakat pasti akan mendapat apresisi,” kata editor senior Grasindo, Pamusuk Eneste.
Modal Menulis
Modal utama menulis adalah membaca. Pater Bolsius mengatakan, “if you don’t read, you don’t write”. Jika Anda tidak punya kebiasan membaca, Anda tidak bisa menulis. Tokoh lain ada yang mengatakan, Anda tidak akan menjadi penulis yang baik jika Anda bukan pembaca yang baik. Dalam menulis, Anda tidak hanya bisa mengandalkan imajinasi. Anda perlu pengetahuan, data-data dan fakta-fakta, teori-teori dan gagasan pendukung, juga pelecut gagasan. Kadang gagasan lahir dari membaca sesuatu, meski hasilnya sama sekali tidak berkait dengan apa yang kita baca.
Selain itu, membaca adalah metode belajar paling efektif. Bagaimana Anda mengetahui bahwa puisi Anda bagus, jika Anda tidak pernah membaca puisi-puisi bagus di koran-koran terkemuka atau puisi milik para penyair bagus. Bagaimana Anda tahu novel Anda mengandung kebaruan, jika Anda tidak pernah membaca novel lain. Jangan-jangan apa yang Anda tulis sudah banyak sekali ditulis orang. Tapi Anda tidak tahu, karena tidak pernah membacanya.
Menulis itu Berpikir
Menulis itu tidak sekedar untuk menumpahkan isi hati atau imajinasi, tapi juga berpikir. Dengan menulis, Anda akan dilatih berpikir dan terus berpikir. Robert Pinckret, dalam bukunya The Truth About English, “writing is thinking. If you can’t think you can’t write. Learning to think”. Menulis adalah berpikir. Kalau Anda tak bisa berpikir, Anda tak bisa menulis. Belajar menulis berarti belajar berpikir.
Tidak heran, banyak orang menjadi pintar karena menulis. Tapi banyak juga orang pintar yang tidak menulis. Sehingga kepintarannya tidak pernah muncul ke permukaan. Jadi, sepintar apa pun Anda, kalau tidak pernah mengungkapkan gagasan atau kepintaran Anda kepada publik (lewat tulisan salah satunya), Anda tidak akan menjadi siapa-siapa alias hanya menjadi sosok biasa saja.
Pantang Menyerah
Pekerjaan apa pun jika dilakukan dengan sikap cengeng pasti tidak pernah berhasil. Contohnya, jika Anda ingin pergi ke suatu tempat, tapi di jalan Anda terus-menerus mengeluh capek, panas, dan sebagainya, pasti Anda tidak akan sampai ke tempat tujuan. Jadi jangan cengeng. Hidup harus selalu optimis. Selalu ada jalan di depan. Selalu ada cahaya di seberang bukit. Songsonglah cahaya itu meski harus berlari-lari. Jika terjatuh, segera bangun, dan berlari lagi.
Naskah Harry Potter pernah 14 kali ditolak penerbit, tapi karena JK Rowling tidak cepat menyerah membuatnya berhasil. Dulu, saya juga berpuluh-puluh cerpen dan puisi-puisi saya ditolak koran, jika saya cengeng tentu saya tidak akan duduk bersama Anda pada hari ini. Saya pasti tidak akan menjadi penulis.
Jadi, jangan langsung “patah hati” ketika karya kita ditolak koran atau penerbit. Baca ulang karya itu, bandingkan dengan karya orang lain, jika terasa masih ada kurang, lakukan perbaikan. Minta pula masukan dan pendapat orang, terutama yang mengerti tentang tulisan Anda. Gandakan (fotocopy) beberapa eksemplar naskah Anda dan berikanlah kepada orang-orang yang Anda percaya untuk dibaca.
Jangan lupa, sangat banyak koran dan penerbit di negeri ini. Jika sebuah naskah novel ditolak oleh sebuah penerbit, boleh jadi penerbit lain akan menerima.
Jangan Cepat Puas
Penyakit yang kerap melanda para penulis pemula adalah cepat puas. Baru beberapa cerpen atau novel diterbitkan, sudah merasa puas. Ini adalah sikap berbahaya. Jika seseorang cepat merasa puas dengan hasil yang telah dicapai, niscaya ia tidak akan lebih maju. Sebab, ia merasa dirinya sudah berhasil dan tidak punya lagi sesuatu yang ingin dicapai. Ia menjadi malas belajar dan mengembangkan diri.
Jadi, jangan pernah cepat puas jika Anda ingin berhasil dan mencapai sesuatu yang jauh lebih baik. Dalam hal kreativitas, tengoklah ke atas. Masih ada langit di atas langit. Lebih bagus, Anda punya “lawan” yang harus Anda taklukkan. Misalnya, jika novel Laskar Pelangi cuma laku 500 ribu eksemplar, buku Anda harus laku di atas satu juta eksemplar. Intinya: kalau dia bisa, mengapa saya tidak bisa. Bahkan, saya harus bisa lebih dari dia.
Punya Impian
Ini penting. Seseorang tanpa impian sama halnya dengan seseorang tanpa bayangan masa depan. Apa itu impian? Ini adalah sebuah harapan, sebuah cita-cita, yang direncanakan sejak awal dengan baik dan ditargetkan akan tercapai pada sebuah waktu tertentu. Misalnya Anda punya impian dua tahun lagi sudah menghasilkan 10 novel laris. Atau Anda punya impian setahun lagi bisa beli mobil dari hasil menulis novel.
Apa pun impian Anda, silakan saja. Sebab, ada kekuatan tertentu dan energi positif yang akan terus mengawal Anda untuk meraih impian itu. Anda akan terdorong terus untuk begitu bersemangat mengerjakan sesuatu yang mendukung pencapaian impian itu. Kalau Anda bermimpi dua tahun lagi sudah punya 10 novel laris, tentu Anda akan terdorong untuk bekerja keras menulis novel dan terus belajar untuk menghasilkan novel yang diperkirakan bisa laris.
Masih bingung dengan impian? Oke, coba kita inventarisir impian kita yang sudah tercapai. Mulai dari saya misalnya. Dulu, saya bermimpi tinggal di Depok. Kenapa Depok? Karena banyak penulis tinggal di Depok dan saya ingin dekat mereka. Rasanya saya bangga ketika di akhir tulisan menulis tanggal penulisanya dengan Depok. Saya pernah bermimpi suatu saat menjadi pembicara di seminar-seminar. Selain itu, saya pernah bermimpi punya suami wartawan atau dosen.
Setelah saya ingat-ingat lagi, rasa-rasanya semua impian itu tercapai. Kini saya tinggal di depok, kerap menjadi pembicara seminar, dan punya suami wartawan dan sedang merintis jalan juga untuk menjadi dosen, kini ia sedang kuliah pascasarjana. Apakah sehabis bermimpi saya ongkang-ongkang kaki? Jelas tidak. Saya bekerja keras untuk mewujudkannya. Disamping itu, saya merasa ada kekuatan “luar biasa” yang terus mendorong dan membimbing saya untuk terus maju. Itulah kekuatan impian.
Sekarang, silakan ingat-ingat apa saja impian Anda yang tercapai.
Memasang Target
Ada seorang penulis yang sangat dekat dengan saya punya target begini. Ia tidak akan memakai gaji rutinnya di kantor untuk membiayai tranportnya (bensin mobil). Rata-rata sehari, ia membutuhkan Rp 50 ribu untuk transport. Berarti, dalam sebulan, ia mesti punya uang Rp. 1.500.000. Jadi sebulan ia pasang target minimal harus punya Rp 1.500.000 untuk transport. Dari mana uang itu? Jawabnya: dari menulis.
Ia menulis berbagai hal, mulai menulis cerpen, puisi, hingga opini di berbagai surat kabar. Ia juga kerap menjadi pembicara seminar, pelatih pelatihan menulis, instruktur workshop jurnalistik, jadi editor buku, dan sebagainya. Ternyata, ia tidak terlalu sulit untuk memenuhi kebutuhan itu. Terkadang, pendapatannya dari pekerjaan menulis (termasuk menjadi intruktur berbagai pelatihan) melebihi dari jumlah gajinya yang diterima di kantor.
Target ini lebih berorientasi pada angka-angka. Sama seperti perusahaan, kita harus mengelola sumber daya dalam diri kita untuk dijadikan uang. Salah satunya dengan keterampilan menulis. Mari kita hitung. Di Sumatera Barat, katakanlah kini ada 10 koran yang memberi honor bagus (ini misalnya saja, saya tidak tahu pastinya). Jika tiap minggu ada dua tulisan Anda dimuat di 10 koran berbeda itu, berarti dalam satu bulan Anda telah menghasilkan 8 tulisan. Jika satu koran memberi honor Rp 100 ribu, berarti dari menulis ini Anda mendapatkan Rp 800 ribu. Itu baru dari koran di Sumatera Barat.
Jika Anda melebarkan sayap menulis ke berbagai koran di berbagai daerah, hitung saja berapa rupiah honor yang akan Anda terima. Atau, jika ada satu saja tulisan Anda yang muncul di koran nasional (Jakarta) tiap minggu, dengan honor rata-rata Rp 500 ribu, berarti dalam sebulan Anda sudah mendapatkan honor Rp 2 juta. Menarik kan?
Begitu pula menulis novel. Jika rata-rata satu hari Anda menulis 5 halaman novel dengan jarak baris satu spasi, berarti dalam sebulan Anda sudah menghasilkan 150 halaman novel. Itu sudah cukup ketebalannya untuk sebuah novel standar yang ketika jadi buku akan berkisar sekitar 250-300 halaman, tergantung ukuran buku. Jika diasumsikan membaca ulang dan mengedit kembali membutuhkan waktu sebulan, berarti Anda hanya perlu dua bulan untuk menulis satu novel.
Jadi, dalam setahun Anda bisa menulis enam novel. Jika satu novel (katakanlah tidak meledak) laku 2.500 eksemplar dengan harga @ Rp 40 ribu. Dengan asumsi rata-rata royalti 10 persen, maka satu novel Anda bisa mendapatkan Rp 10 juta. Jika Anda menulis enam novel, berarti dalam setahun pendapatan Anda dari menulis adalah Rp 60 juta. Bayangkan, jika salah satu diantara novel-novel itu laris manis dan bisa terjual sampai lebih 100 ribu eksemplar.
Asyik kan? Nah, tunggu apa lagi, mulai sekarang, ayo menulis, dan pasang target berapa halaman harus diselesaikan sehari, berapa bulan satu novel, dan berapa novel bisa selesai dalam setahun. Dengan begitu, hitung-hitungannya akan menjadi jelas. Anda bisa merencanakan sesuatu untuk setahun mendatang, bahkan lebih. Tapi ingat, jangan cuma bermimpi, melainkan wujudkan mimpi itu dengan ketekunan dan kerja keras.
Jangan Banyak Alasan
Dulu, saya menulis dengan mesin ketik pinjaman. Sering, saya menulis dulu di kertas folio baru kemudian saya bawa ke tempat teman untuk saya ketikkan. Besoknya, tulisan itu saya masukkan ke dalam amplop dan saya antar ke kantor pos untuk disampaikan ke redaksi koran. Kadang, saya mengetik di tempat orang sampai larut malam. Apa boleh buat, karena saya tidak punya mesin ketik sendiri.
Sekarang, teknologi sudah begitu maju, dan itu sangat memudahkan. Mengirim karya ke koran atau penerbit tidak perlu lagi pakai pos, cukup pakai email. Jika belum punya komputer sendiri, jangan jadikan alasan untuk tidak menulis. Tulis dulu di kertas folio atau buku, lalu bawa ke rental komputer dan ketik. Jika belum bisa mengoperasikan internet, jangan jadikan alasan untuk tidak mengirim. Belajar atau minta tolong teman.
Juga tidak ada alasan tidak punya waktu. Mari kita hitung. Waktu semuanya 24 jam. Maksimal kita tidur 8 jam. Maksimal kita bekerja atau sekolah 8 jam. Jadi, masih 8 jam lagi yang nganggur tiap hari. Dari delapan jam itu, sisakan barang dua-tiga jam saja tiap hari untuk menulis dan membaca. Jika bingung, coba bikin jadwal, dan temukan ritme kapan enaknya menulis, misalnya pagi-pagi sehabis shalat subuh, sore, sehabis magrib, atau kapan saja yang membuat Anda tidak punya beban dan rileks.
Manajemen Diri
Ada ahli manajemen yang berkata begini: perlakukan diri Anda seperti halnya sebuah perusahaan. Artinya, Anda harus punya manajemen. Ini bukan berarti Anda harus punya sekretaris, staf dan segala macam. Kalau ada boleh juga, saya juga mau, he...he... Tapi maksudnya bukan itu. Manajemen disini adalah bagaimana merencanakan, memimpin, dan melaksanakan tugas-tugas, untuk mencapai tujuan yang telah Anda gariskan.
Misalnya: mengatur waktu menulis, merencanakan sebuah karya ditulis untuk dikirimkan ke penerbit apa, tema apa, berapa lama selesainya, siapa yang harus dihubungi di penerbit itu, siapa yang harus memberikan testimoni tentang karya itu di kulit buku, dan kira-kira kapan sebuah topik tertentu cocok untuk dilempar ke pasar, apa trend karya yang sedang digandrungi, dan sebagainya. Termasuk tugas manajerial adalah menjadwalkan waktu untuk ketemu editor, penerbit dan bernegosiasi tentang royalti.
Belakangan, sebagaimana sebuah perusahaan, seseorang juga perlu merancang nama yang mudah ingat. Apalagi, jika Anda bergerak dalam genre novel pop. Jika Mustafa Ismail yang menulis novel pop remaja, besar kemungkinan tidak akan laku. Sebab, nama itu terasa berat. Tapi jika yang menulis bernama Vivi Riana, mungkin akan laris manis, karena itu sangat dekat dengan dunia remaja kini.
Ini bukan anjuran memakai nama samaran. Sebaiknya, cobalah berangkat dari nama  Anda sendiri. Misalnya Mustafa Ismail. Ia pernah menulis buku cerita untuk anak dengan nama Tafa. Setelah sadar nama itu adalah brand, dalam novel terbaru saya yang bergenre pop saya tak lagi menggunakan nama panjang, tapi cukup nama pendek saja: Dianing. Intinya sih, nama itu yang mudah diingat sehingga mudah untuk ngetop.
Jika nama Anda, misalnya Suryanto Natasastra, barangkali Anda bisa menyingkatnya dengan Surya Nata. Seorang penulis novel, Ngarto Februana, ketika meluncurkan novel terbarunya beberapa waktu lalu, penerbit minta izin untuk menggunakan hanya nama Februana di kulit depan novel. Sementara nama lengkap tetapi ditulis di bagian biodata di dalam.
Terus, jika Anda pernah baca novel Tere Liye, bayangan Anda siapakah penulis ini: laki-laki atau perempuan? Bayangan saya ketika mendengar adalah seorang perempuan. Tapi suatu kali ketika berkunjung ke penerbit Republika saya baru tahu dia adalah seorang laki-laki bernama Darwis.
Masih banyak tokoh publik yang kemudian menyederhanakan namanya agar mudah diucapkan sekaligus mudah diingat. Terutama di kalangan selebritas. Dan jangan lupa, dunia kepenulisan kini telah masuk dunia selebritas, sebuah industri, yakni industri kreatif. Nah, penulis pun harus membranding diri dengan semangat industrial itu.
Selamat menulis. ***
DIANING WIDYA YUDHISTIRA, penulis novel Sintren (lima besar Khatulistiwa Literary Award 2007), Perempuan Mencari Tuhan (2007), Nawang (2009), dan Weton (2009), buku puisi I Love You Ibu (2008), dan buku Satu Istri Saja Cukup (2009). Blog pribadi dan karya: http://dianing.wordpress.com, http://penarisintren.wordpress.com, http://novelnawang.co.cc, http://novelweton.co.cc. Esai ini sebagai makalah dalam acara peluncuran novel “Cinta di Kota Serambi” karya Irzen Hawer (Padangpanjang).
Sumber: http://famindonesia.blogspot.com/2012/08/ingin-terkenal-dan-kaya-menulislah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar