Wajah dalam Hujan
Oleh: Linatul Hasanah FAM879M**
Mungkin akan tiba saatnya di mana kamu harus berhenti mencintai
seseorang, bukan karena orang itu berhenti mencintai kita melainkan karena kita
menyadari bahwa orang itu akan lebih berbahagia apabila kita melepaskannya.
(kahlil Gibran).
LELAKI ITU
Hujan deras
menghentak bumi. Sederas air mata perempuanku menghakimi diriku, pagi ini.
Mungkin, ini memang fatal kesalahanku. Akhir-akhir ini, sikapku tak jauh beda
dengan bunglon, hewan yang mampu bersikap semaunya demi dirinya sendiri. Menit
yang lalu, perempuanku masih tertawa karena leluconku. Begitu yakin pada tiap
kata yang tersusun rapi dalam kalimat janji yang keluar dari bibirku. Bah!
Menit berikutnya, aku malah membuatnya kuyup dalam hujan air mata yang keruh.
Sungguh! Ini fatal salahku. Perempuanku lebih banyak lembab dan bengkak karena
ulahku.
“Apa aku terlalu
buruk untuk menjadi perempuanmu?” Tanya perempuanku, kuyu. Hatiku menggigil,
bergetar dahsyat.
“Kau perempuan yang
baik dan terhormat, bahkan terlalu sempurna untuk menjadi perempuanku.”
Jujur, suaraku
bergetar. Sedang terjadi badai besar pada batinku. Hitam. Putih. Abu-abu. Aku
terjebak risau karena ulahku sendiri.
Aku perhatikan mata
perempuanku, berembun. Beralih kabut. Lalu, hujan deras semena-mena menghentak.
Menghardik pertahanan di bola beningnya. Dadaku sesak. Makin lumpuh menahan
gigil.
“Lalu, kenapa
begitu sulit bagimu memberi kepastian?” Desak perempuanku, suaranya telah parau
karena hujan yang membadai dalam dirinya.
“Karena kesempurnaanmu
yang membuat diriku begitu sulit.”
Aku mendesah berat.
Perasaan ini begitu rumit.
Perempuanku makin
membadai. Angin yang mulanya sepoi telah menggema topan. Aku pun
terhuyung-huyung dalam gelombang galau yang panjang.
***
PEREMPUANKU
Pada mulanya, hujan
adalah rivalku. Aku membencinya lebih dari apa pun yang aku benci. Gigilnya
yang membuatku tidak menyukai air dari langit itu. Akan tetapi, setelah satu
kesimpulan menyadarkan aku akan banyak hal, aku meralat anggapanku sendiri
terhadap hujan. Kehadiran lelaki itu mengharuskan diriku berdamai dengan hujan.
Pagi itu, aku hanya
ingin menuntut kepastian dari dirinya akan statusku sebagai seseorang yang
lebih dalam hidupnya. Tidak lebih untuk menghakimi segala sikapnya akhir-akhir
ini. Aku hanya membutuhkan kepastiannya. Aku tidak ingin ragu pada perasaanku
setelah tadi malam, aku tak sengaja mencuri dengar percakapan Abah dengan
seorang priyai di ruang tamu.
Karena itu, pagi
itu, aku meledak seperti gunung yang marah. Tubuhku panas seperti menyemburkan
luapan larva. Muak. Murka pada kalimatnya yang tak dapat aku terima. Alasannya
terlalu konyol. Lelucon yang tak masuk akal. Tak pandai berkelakar.
“Karena
kesempurnaanmu yang membuat diriku begitu sulit.”
Gila! Aku sempurna?
Mana berhak lelaki itu berkata seperti itu selagi aku dalam
ketidaksempurnaanku.
Aku masih ingin
mendebat kalimat lelaki itu. Seandainya, dentuman keras di jantungku tidak
memberontak kasar. Nafasku telah begitu sesak. Aku cepat menarik diri, berlari
menubruk hujan. Berharap pada tiap tetesnya yang bening mampu melunakkan badai
dalam tubuhku.
***
LELAKI ITU
Aku masih
terhuyung-huyung dalam gugusan hari yang menyesakkan. Sebenarnya, aku telah
lama mengambil keputusan. Tetapi, itulah, aku selalu begitu sulit untuk
menyampaikan. Hingga perempuanku selalu lebih dulu menafsir sikapku. Sikap
abu-abuku. Sikap ragu-raguku.
Saat ini, pikiranku
telah benar-benar kacau. Aku tak mampu berpikir logis lagi. Akh! Apa aku akan
bersikap seperti majnun? O, perempuanku…
Otakku telah
benar-benar penuh dengan perempuanku. Perempuanku yang tertawa. Perempuanku
yang menangis. Perempuanku yang menuntut. Perempuanku yang kecewa. Perempuanku
yang terluka. Ukh! Terlalu rumit pikiran ini. Puff…
***
PEREMPUANKU
Lelaki priyai itu
datang kembali menghadap Abah. Senyumnya sumringah sekali. Begitupun Abah yang
menyambutnya dengan ramah yang berlebihan. Entah apa yang akan mereka cakapkan
tentangku. (Aku terlalu berpikir negatif). Tapi, ada kemungkinan memang begitu.
Sudahlah, aku tak mau peduli apa yang mereka cakapkan.
Aku tersenyum
girang. Di luar, langit mendung. Sebentar lagi pasti akan hujan. Aku
terburu-buru berlari ke halaman belakang. Aku akan bermain hujan malam ini. Tak
peduli apa yang akan terjadi padaku nanti.
“Hujan, apa benar
aku sempurna? Apa alasan lelaki itu berkata seperti itu? Apa dia sebegitu
naifnya hingga tak mampu mengatakan ketidaksempurnaanku? Apa dia tidak tahu,
bahwa kesempurnaan yang aku miliki saat ini karena dia yang melengkapinya.
Kesempurnaan ini akan hilang jika dia bermaksud pergi.”
Aku mengajak hujan bicara. Ini kali pertama aku menyapa
hujan dengan ramah. Biasanya, aku marah-marah.
Sambil menunggu respon hujan, aku khidmati tiap tetes
air dari langit itu yang jatuh mengenai kulitku yang telah gigil. Ada
kenyamanan yang aku rasakan.
“Hujan, telah lebih seminggu, lelaki itu tidak
menjengukku. Tak maukah kau membantuku, menuntun hati lelaki itu untuk
menjengukku?”
Aku menengadah pada ujung air hujan yang menetes itu.
Tidak aku temukan apa-apa. Aku memejamkan mata. Mencoba merasakan apa yang bisa
aku rasakan saat ini.
Hujan makin deras. Aku merasakan, gigilnya makin menusuk
pada organ-organ dalam tubuhku. Tubuhku mendadak ringan. Tetapi, tidak dengan
jantung dan pernafasanku yang mulai terganggu. Terlalu sesak.
Tubuhku melemah. Merosot ke tanah. Aku merasakan ada
sepasang tangan menopangku. Kekar dan hangat. Memangku kepalaku yang mulai
berkeliling. Tangan hujan kah…
“Tidurlah dengan tenang, malam ini, aku akan
menemanimu hingga hujan di kota matamu reda.”
***
LELAKI ITU
Perempuanku sedang
terlelap dalam pangkuanku. Jika sedang tertidur perempuanku seperti bayi kecil,
polos. Perempuanku juga tampak lebih cantik. Salah satu keindahan darinya yang
hanya ingin aku yang memiliki dan mengaguminya.
“O, perempuanku, aku rindu permainan cinta kita pada
malam-malam sebelum Abahmu menghajarku.”
Aku mendesah halus, tapi berat. Dadaku sesak. Sesak yang
tak akan pernah usai menyedekahi kemeranaan di pelosok batinku. Perasaan ini
terlalu rumit.
“Perempuanku, semoga kau selalu memaafkan aku. Aku ingin
mengakhiri segalanya dengan caraku tanpa mufakatmu. Perempuanku di rumah,
sedang menungguku pulang.”
Aku bingung. Tidak tahu harus bagaimana. Tertawa atau
menangis atas apa yang telah aku lakukan pada perempuanku.
Ternyata, aku lebih majnun daripada majnun.
Sebelum aku beranjak meninggalkan tubuh perempuanku yang
mulai kaku, sekilas aku melihat kecewa yang dalam pada wajah hujan. Malam ini,
aku telah melukis luka yang akan mengantarkanku pada penyesalan yang panjang.
***
HUJAN
Aku tidak percaya, malam ini, aku menjadi saksi
abstrak dari perempuanku yang membujur kaku. Lelaki itu telah benar-benar
mengakhiri segalanya. Telah benar-benar melakukan apa yang dia anggap terbaik
untuk perempuanku. Aku tak dapat berbuat banyak karena aku juga menginginkan
yang terbaik untuk perempuanku. Menginginkan perempuanku menjadi bagian dari
rintik diriku.
**Penulis adalah penikmat segala genre tulisan.
Annuqayah, September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar